JAKE, Korban Penelitian

Jake tumbuh di lingkungan masyarakat kelas menengah. Meskipun tidak mendapat masalah serius, semasa SMA ia memiliki reputasi suka bertengkar dengan guru dan teman teman sekelasnya.

Selepas SMA ia mendaftar di sebuah perguruan tinggi setempat, tetapi keluar setelah satu tahun kuliah. Prestasinya yang kurang baik di sekolah sebagian dapat diatribusikan pada ketidak mampuannya untuk mempertanggung jawabkan nilai nilai buruk yang diraihnya.

Ia mulai mengembangkan teori teori persekongkolan tentang teman teman kuliah dan dosen dosennya. Ia yakin mereka bersekongkol untuk membuat kuliahnya berantakan. Jake berpindah pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tiap kali ia mengeluh bahwa pemilik perusahaan tempatnya bekerja memata matai dirinya baik di tempat kerja maupun di rumah.

Pada umur 25 tahun-dan bertolak belakang dengan harapan orang tuanya- ia pindah dari rumah orang tuanya ke sebuah kota kecil di luar negara bagian asalnya. Sayangnya, surat surat yang setiap hari ditulisnya ke rumah membenarkan apa yang paling ditakuti orang tuanya.

Ia semakin terokupasi dengan teori teori tentang orang orang yang bermaksud mencelakainya. Jake menghabiskan banyak waktu di depan komputer, mengeksplorasi situs situs Web dan mengembangkan teori terelaborasi tentang bagaimana ia telah menjadi kelinci percobaan bagi berbagai penelitian di masa kecilnya dulu.

Surat surat yang ditulisnya kepada orang tuanya mendeskripsikan keyakinannya bahwa para peneliti yang bekerja sama dengan CIA telah menjejalkan obat kepadanya ketika ia masih anak anak dan menanamkan sesuatu yang memancarkan gelombang mikro ke dalam telinganya.

Gelombang mikro ini diyakininya sebagai alat yang digunakan untuk mengembangkan kanker di dalam tubuhnya. Selama dua tahun ia semakin terokupasi dengan teori ini. Ia menulis surat kepada pihak pihak yang berwenang, berusaha meyakinkan mereka bahwa ia sedang dibunuh secara perlahan lahan.

Setelah mengancam akan melukai beberapa administratur di kampusnya, orang tuanya dihubungi dan mereka membawa Jake ke seorang psikolog. Ia didiagnosis dengan gangguan kepribadian dan depresi berat.

Sumber : V. Mark Durand & David H. Barlow, Psikologi Abnormal, 2006.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Sikap Curiga ?

Mungkin kita pernah mendengar kalimat :”Curiga sih kagak…. tapi waspada jalan terus.”

Sepintas tidak mudah membedakan antara sikap curiga dan sikap waspada tetapi sesungguhnya dua hal tersebut sama sekali berbeda.

Sikap curiga menjadikan orang lain sebagai sasaran penilaian “negatif” kita sementara sikap waspada menjadikan diri sendiri sebagai sasaran kendali.

Sikap curiga menjadikan orang lain sebagai “tumpuan” kesalahan (padahal kita yang tidak berani menanggung resiko) sebaliknya sikap waspada menjadikan diri sendiri sebagai pengambil resiko (resiko dari sebuah keputusan telah diperhitungkan sejak awal).

Sikap curiga berusaha meramal “hasil negatif” yang akan terjadi padahal cara berfikir orang lain termasuk diluar zona kendali sedang sikap waspada hanya mengendalikan variabel yang dalam zona kendali sedang hasil merupakan “buah” dari rencana (resiko).

Sikap curiga berpusat pada masa lalu misal trauma dibohongi, trauma ditipu dsb. sedang sikap waspada berpusat pada masa datang misal bagaimana agar pencapaian hasil sesuai dengan yang direncanakan dan dengan resiko yang semakin kecil dibanding sebelumnya.

Sikap curiga dimulai dengan pertanyaan “Jangan jangan …….” misal : jangan jangan dia berniat jahat, jangan jangan dia akan selingkuh lagi, jangan jangan dia mencuri lagi, dsb. sedang sikap waspada dimulai dengan pertanyaan “Seandainya …….” misal : seandainya dia berbohong maka hal yang harus saya antisipasi adalah ………, seandainya dia tidak bayar utang maka syarat yang harus saya tetapkan dimuka adalah ………

Timbulnya sikap curiga biasanya disebabkan oleh cara “salah” dalam men-sikapi peristiwa sebelumnya sedang sikap waspada diperlukan untuk semakin meningkatkan kualitas pencapaian berikutnya.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Paranoid ?

Menurut kamus Oxford, paranoid adalah ajektiva, kata sifat, untuk penderita paranoia. Paranoia didefinisikan sebagai penyakit mental di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Sedang dalam kamus Webster, paranoia didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis.

Pada penderita skizofrenia paranoid, ditandai dengan simptom-simptom / indikasi sebagai berikut:

1. adanya delusi atau waham, yakni keyakinan palsu yang dipertahankan.

– Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya. Waham ini menjadikan penderita paranoid selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, serta diawasi.

– Waham Kebesaran (delusion of grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting.

– Waham Pengaruh (delusion of influence), adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya.

2. adanya halusinasi, yaitu persepsi palsu atau menganggap suatu hal ada dan nyata padahal kenyataannya hal tersebut hanyalah khayalan.

3. gejala motorik dapat dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yg aneh dan juga dapat dilihat dari cara berjalannya.

4. adanya gangguan emosi

5. social withdrawl (penarikan sosial), pada umumnya tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya sehingga dia hanya memiliki sedikit teman.

Diduga, penyebab gangguan kepribadian ini disebabkan oleh respon pertahanan psikologis (mekanisme pertahanan diri) yang berlebihan terhadap berbagai stress atau konflik terhadap egonya dan biasanya sudah terbentuk sejak usia muda.

Apabila gejala yang muncul sulit untuk dikendalikan, sebaiknya meminta bantuan profesional / terapis. (Disari dari berbagai sumber).

Ingin bebas paranoid? KLIK > https://servo.clinic/alamat/