Idealnya, kebutuhan akan pengetahuan tentang bagaimana membesarkan anak sudah didapatkan jauh jauh hari sebelum pasangan muda memiliki anak.
Kalaupun hal tersebut ada, kebanyakan masih bersifat kebutuhan “fisik” seperti masalah kebersihan, gizi/nutrisi, imunisasi/kesehatan dsb. sedang yang bersifat kebutuhan “emosional” belum terlalu banyak dipelajari karena hal tersebut memang belum menjadi kebutuhan mendesak.
Apalagi biasanya anak tidak dalam posisi “memilih” sehingga pasangan muda merasa sang anak baik baik saja dan penurut. Akibatnya sering tanpa di sadari dalam hal pemenuhan kebutuhan “emosional” anak, pasangan muda hanya melakukan “copy & paste” dengan cara cara yang biasa dilakukan orang tua kita dulu. Padahal bisa jadi kita sedang meneruskan “tradisi” yang salah dalam mendidik anak.
Apakah cara yang ditiru tersebut sudah benar secara ilmu “kecerdasan emosional” kadang luput dari perhitungan, karena cara tersebut “terbukti” cukup efektif diterapkan dalam diri kita. Hal tersebut bisa semakin bias saat kita mendapatkan si “yunior” bertingkah laku mirip “gue banget”.
Sering tanpa sadar kita melabel, mencemooh, meremehkan, membanding bandingkan, mengancam, membentak bahkan melakukan kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, dsb. agar mereka mau melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita, persis seperti cara cara orang tua kita dulu memperlakukan kita. Tapi tahukah Anda bahwa kita sedang “mewariskan” tradisi buruk ke buah hati kita ?
Mengapa tidak sejak awal kita melengkapi diri dengan pengetahuan membesarkan anak yang benar atau jika perlu melakukan “renovasi diri” besar besaran pada diri sendiri, jauh hari sebelumnya.
Bisa jadi kita sendiri memiliki “luka luka emosi” yang harus dipulihkan sebelum tanpa sadar kita “tularkan” ke buah hati tercinta ?
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/