Simulasi Masalah ?

John Lochman, ahli psikologi dari Duke University yang merupakan salah satu perancang program berkata “Mereka akan membahas situasi yang baru saja mereka alami akhir akhir ini, seperti ditabrak di lorong yang mereka pikir disengaja.

Anak anak itu akan membicarakan bagaimana mereka menanganinya. Salah seorang anak misalnya, berkata bahwa ia hanya menatap anak yang menabraknya itu dan mengatakan kepadanya agar jangan melakukannya lagi, lalu pergi. Tindakan tersebut membuatnya berada dalam posisi di atas angin dan tetap dapat mempertahankan harga dirinya, tanpa memulai perkelahian.”

Yang menarik; banyak anak pemberang semacam itu tidak bahagia dengan sikap mereka yang begitu mudah marah, sehingga mau menerima untuk belajar mengendalikannya. Pada saat momen itu benar benar terjadi, tentu saja mereka tidak secara otomatis menanggapi kejadian dengan kepala dingin, misalnya dengan berjalan terus atau menghitung sampai sepuluh agar dorongan memukul lenyap sebelum bereaksi; anak anak ini mempraktekkan pilihan tadi dalam adegan peragaan seperti naik bus lalu di goda oleh anak anak lain.

Dengan cara itu mereka bisa mempraktekkan tanggapan bersahabat yang mempertahankan martabat mereka sekaligus memberi mereka alternatif lain dari memukul, menangis atau lari karena malu.

Tiga tahun setelah menjalani latihan tersebut, Lochman membandingkan anak anak ini dengan anak anak lain yang sama agresifnya tetapi tidak mendapat kesempatan mengikuti sesi sesi pengendalian amarah itu. Ia menemukan bahwa, pada anak remaja, anak anak laki laki yang lulus dari program tersebut menjadi jauh kurang mengganggu di kelas, mempunyai lebih banyak perasaan positif terhadap diri mereka sendiri dan cenderung berkurang kemungkinannya untuk minum minum atau menyalahgunakan obat terlarang.

Semakin lama mereka menempuh program tersebut, semakin berkurang sikap agresif mereka sebagai remaja.

Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Sekolah Bagi Pembuat Onar ?

Menyimpangnya pikiran bawaan anak anak agresif seumur hidupnya merupakan kecenderungan yang hampir pasti menjamin bahwa mereka akhirnya akan menemui masalah.

Penelitian terhadap anak anak muda pelanggar hukum yang dipenjara karena tindak kejahatan dengan kekerasan dan terhadap murid murid sekolah menengah umum yang agresif menemukan stelan pikiran yang sama: bila mereka menghadapi kesulitan dengan seseorang, mereka akan segera menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang itu, dengan seketika mengambil kesimpulan bahwa orang lain tersebut bersikap memusuhi mereka, tanpa mencari informasi lebih lanjut atau berusaha memikirkan cara damai untuk menyelesaikan perselisihan.

Oleh karena itu, akibat negatif pemecahan dengan kekerasan-perkelahian, biasanya-tidak pernah melintas di benak mereka. Bakat untuk bersikap agresif dibenarkan dalam pikiran mereka oleh keyakinan seperti, “Boleh boleh saja memukul seseorang, bila kita sedang panas panasnya”; “Bila kita takut berkelahi, orang akan menganggap kita pengecut”; dan “Orang yang kena banyak pukulan sebetulnya tidak merasa sakit sakit amat” (Ronald Slaby dan Nancy Guerra).

Namun, bantuan pada saat yang tepat dapat mengubah sikap ini dan menghentikan kecenderungan anak untuk melakukan tindak kejahatan; sejumlah program percobaan sukses dalam membantu anak anak agresif semacam itu untuk belajar mengendalikan kecenderungan antisosial mereka sebelum kecenderungan itu menjurus ke masalah yang lebih gawat.

Salah satu program di Duke University, melibatkan perusuh perusuh sekolah dasar yang penuh amarah dalam sesi sesi pelatihan selama empat puluh menit, dua kali seminggu, selama enam hingga dua belas minggu. Anak laki laki, misalnya, mendapat pelajaran untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial yang mereka tafsirkan sebagai bermusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.

Mereka belajar meninjau dari sudut pandang anak lain, untuk memperoleh perasaan bagaimana mereka dilihat orang dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasakan oleh anak lain dalam perselisihan perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.

Mereka juga mendapat pelatihan langsung dalam mengendalikan amarah melalui skenario skenario peragaan, seperti di ejek, yang dapat membuat mereka marah. Salah satu diantara keterampilan utama untuk mengendalikan amarah adalah memantau perasaan-menjadi peka akan perubahan pada tubuh mereka, seperti muka menjadi merah atau otot menegang, sewaktu mereka marah dan untuk mengartikan perasaan itu sebagai isyarat untuk berhenti dan mempertimbangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, bukannya langsung menyerang.

Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Anak Anak Sulit ?

Pada kelas empat atau kelas lima, anak anak – yang sekarang sudah dianggap pengganggu atau sekedar anak anak “sulit” – ditolak oleh teman sebayanya dan tidak mampu membina persahabatan dengan mudah, bila memang berusaha membinanya dan mengalami kegagalan akademis.

Karena merasa tidak memiliki sahabat, mereka cenderung bergabung dengan kelompok lain yang terkucil dari pergaulan. Antara kelas empat dan kelas sembilan, mereka melibatkan diri pada kelompok buangan dan menempuh kehidupan sebagai pelanggar hukum: mereka menunjukkan angka pembolosan lima kali lebih besar, minum minum dan menggunakan obat terlarang, dengan kenaikan tertinggi terjadi antara kelas tujuh dan kelas delapan.

Pada tahun tahun pertengahan masa sekolah, kelompok mereka bertambah dengan jenis lain “pemula belakangan”, yang tertarik pada gaya memberontak mereka; pemula belakangan ini seringkali anak muda yang sama sekali tidak mendapat pengawasan di rumah dan sejak di sekolah dasar sudah mulai berkeliaran di jalan menuruti kehendak sendiri.

Pada saat di sekolah menengah atas, kelompok liar ini biasanya keluar dari sekolah dan hanyut dalam tindak pelanggaran, melakukan kejahatan kejahatan kecil seperti mengutil di toko, mencuri dan menjual obat terlarang.

Tentu saja tidak cuma ada satu jalan menuju tindak kekerasan dan kejahatan; banyak faktor lain yang bisa membuat seorang anak menghadapi resiko itu; dilahirkan di permukiman yang tinggi tingkat kriminalitasnya sehingga lebih gampang tergoda berbuat jahat dan kejam, berasal dari keluarga yang dihadang tekanan berat atau hidup dalam kemiskinan.

Tetapi tidak satupun di antara faktor ini yang menyebabkan suatu hidup yang penuh tindak kejahatan dengan kekerasan menjadi tak terelakkan. Kalau segala sesuatunya sama, kekuatan psikologis yang bekerja pada anak anak yang agresif sangat memperbesar kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi penjahat kejam.

Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/