Secara medis penggunaan alkohol secara terus menerus beresiko terhadap jantung, otak (kardiomiopati), sistem saraf, pencernaan (gastritis), hati (sirosis hati) dan impotensi. Sedangkan pada perempuan hamil, dapat meningkatkan risiko cacat pada bayi.
Jika seorang pecandu alkohol diajak untuk berfikir tentang bahaya Alkohol, pasti mereka sepakat bahwa penggunaan alkohol secara terus menerus dan dalam jumlah yang banyak beresiko terhadap kesehatan mereka. Tetapi saat “pesta minum” dimulai mereka tidak berdaya untuk menghentikannya. Mengapa demikian ?
Suasana keakraban yang terbentuk saat melakukan ritual minum bersama, semakin mendramatisir kebutuhan menambah “sloki”. Juga sifat alkohol yang dapat menstimulir SSP (sistim saraf pusat) memberikan sensasi yang nikmat.
Penggunaan alkohol secara teratur juga dapat menimbulkan toleransi sehingga semakin lama kebutuhan tubuh akan alkohol meningkat. Karena alkohol mudah larut dalam darah, lama kelamaan kadar alkohol dalam darah akan semakin tinggi. Keadaan ini yang dapat merusak fungsi dari berbagai organ tubuh.
Jika penggunaan alkohol dijadikan sebagai sarana kompensasi / pelarian seperti pelepas stress pekerjaan, problem keluarga, bisa dipastikan kebiasaan tersebut akan berkembang menjadi kecanduan / ketagihan.
Lingkaran setan antara kecanduan dan toleransi tubuh terhadap alkohol menjadi siklus yang sangat mematikan !
Ingin bebas kecanduan alkohol? KLIK > https://servo.clinic/alamat/
Sebenarnya bukan saya yang kecanduan alkohol, tapi pacar saya.
Dosisnya udah ampe parah banget, bahkan alkohol 70% pun bisa diminum…dan parahnya lagi, dia menganggap “minum” itu nggak salah…jadi dia gak sadar dan gak ngerasa sakit…Padahal dia udah di judge oleh dokter kalo ginjal nya bermasalah, jadi sering lupa…dll…
Gimana caranya saya bisa nyadarin dia kalo sebenarnya “minum berlebihan” itu gak bener ?
Saya minta tolong banget sarannya….
Thank u banget……
GBU.
Pecandu alkohol yang sinkron dengan egonya (ego sintonik) biasanya sulit diubah karena ybs. sama sekali tidak merasa terganggu dengan kebiasaan buruk tsb.
Itu sebabnya “kebutuhan” untuk berubah perlu dimunculkan terlebih dahulu sebelum mengikuti sesi terapi.
Jangan sampai kebutuhan berubah baru muncul setelah “ancaman” terhadap kesehatan telah berubah menjadi rasa sakit yang “nyata”, karena terlambat.