Dalam keadaan stress terjadi perubahan pada sistem opioid otak, yang mengeluarkan endorfin untuk menumpulkan rasa nyeri.
Sistem ini menjadi terlalu aktif. Apabila kadar opioid (“morfin yang dimiliki otak”) tinggi, orang akan memiliki toleransi tinggi terhadap rasa sakit-efek yang telah dicatat oleh para dokter bedah di medan pertempuran yang menemukan bahwa para prajurit yang terluka parah membutuhkan dosis narkotika lebih rendah untuk menangani kesakitan mereka daripada orang orang sipil yang mengalami luka yang jauh lebih ringan.
Sesuatu yang sama agaknya terjadi dalam kasus Post Traumatic Stress Disorder/PTSD (Dr. Roger Pitman). Perubahan endorfin menambah dimensi baru pada paduan saraf yang dipicu oleh pemaparan kembali terhadap trauma: matinya perasaan perasaan tertentu. Ini rupanya menjelaskan serangkaian gejala psikologis “negatif” yang telah lama diamati dalam PTSD: anhedonia (ketidak mampuan menikmati rasa senang) dan mati rasa emosional pada umumnya, suatu perasaan terputus dari kehidupan atau dari keprihatinan tentang perasaan orang lain.
Orang orang yang dekat dengan orang semacam itu barangkali menganggap ketidak pedulian ini sebagai kurangnya empati. Efek lain yang bisa muncul barangkali adalah disosiasi, termasuk ketidak mampuan mengingat menit menit, jam jam, dan bahkan hari hari kritis terjadinya peristiwa traumatis itu.
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/