Indeks Prestasi Tinggi ?

Alhamdulillah, saat ini memiliki indeks prestasi (IP) tinggi, bukanlah hal yang sulit !

Hanya dengan orang tuanya yang di S.E.R.V.O (baca : orang-tuanya, bukan anaknya), pelajar yang semula memiliki masalah emosi dengan prestasi rata rata saat di sekolah menengah, berangsur angsur berubah menjadi pribadi yang penuh percaya diri, bahkan berprestasi saat kuliah (baca : IP akumulatif >3,5).

Pengalaman terapi menunjukkan, bahwa ambisi orang-tua yang diproyeksikan ke anak lah yang justru sering merusak jati diri anak sehingga timbul persepsi seolah olah sekolah hanyalah sebuah cara untuk menyenangkan hati orang tua, sekolah membuat dirinya tidak lagi disayang orang tua (baca : selalu diomeli orang tuanya), sekolah hanyalah sebuah beban dsb.

Akibatnya timbul perasaan takut salah, takut gagal, takut dimarahi, takut mengecewakan, merasa diri bodoh, tidak mampu dsb. dan ini tentu saja berpotensi mengganggu pertumbuhan emosional ybs., sehingga tumbuh menjadi pribadi yang pencemas, peragu, pemalas, suka membantah bahkan pemberontak.

Jadi jika ingin anak Anda berprestasi, mulailah dari orang tua yang berubah !

Ingin anak Anda berprestasi ? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Kebanggaan Semu ?

Setiap melihat tayangan di TV mengenai tawuran pelajar, saya jadi teringat teman kuliah saya dulu.

Pada waktu saya main ke rumahnya, ybs. dengan bangganya menunjukkan kepada saya album foto saat dirinya masih SMA yang berisi kenangan saat ybs. sedang di hukum dipenjara, kepala dibotakin bersama teman teman lainnya gara-gara tawuran.

Jadi bukan resiko dipenjara, resiko dimarahi orang tua, resiko diberi sanksi oleh sekolah ataupun resiko mati gara gara tawuran yang mereka takuti, melainkan adanya kebutuhan emosional berupa pengakuan lingkungan bahwa mereka pemberani, mereka hebat, mereka eksis dsb.

Hal tersebut dapat dimaklumi karena sebagai bagian dari proses menemukan identitas dirinya, ybs. belum “sadar” bahwa perasaan “eksis” tersebut dapat diperoleh tidak hanya dari gerombolan bermainnya, melainkan juga dari “perasaan berguna” bagi orang lain.

Di sinilah tugas para orang-tua ataupun guru harus “bergeser” dari penyuap anak, pelindung anak, pengawas anak menjadi fasilitator, pemberi peran ataupun tanggung jawab kepada remaja agar ybs. merasa “berguna” bagi orang lain dan sekitarnya sehingga mereka menjadi pribadi yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan, paling tidak bagi dirinya sendiri.

Lalu, dari mana para orang tua ataupun guru dapat memulainya ?

Ubahlah mulai dari cara Anda berkomunikasi dengan para remaja. Ubah dari pola bahasa “kamu”, menjadi pola komunikasi bahasa “saya” sehingga kebiasaan mengatakan “kamu harus rajin belajar, kamu harus bangun pagi” berubah menjadi “Mama suka melihat kakak membantu papa” atau “Papa bangga melihat abang rajin belajar”.

Dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah pastikan sebagai orang tua, diri Anda terbebas dari masalah kecemasan ataupun mudah panik.

Ingin Anak Berprestasi ? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Fobia Belajar / Sekolah ?

Tentunya kita semua tau bahwa saat ini, kesadaran para orang tua menyekolahkan anak, terutama di perkotaan sudah sangat tinggi.

Namun kesadaran akan pentingnya sekolah saja tidak cukup. Selain harus menyediakan sarana dan biaya pendidikan yang diperlukan, orang tua dituntut pula memiliki kemampuan menyampaikan “pesan” bahwa belajar bukanlah merupakan kepentingan orang-tua ataupun guru, melainkan kepentingan ybs. sendiri.

Masih ada orang-tua yang terjebak pada pemikiran bahwa sekolah adalah “tujuan”, sehingga saat menemukan sang anak tidak kooperatif dalam kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, misal anak yang selalu bangun kesiangan, anak yang malas mengerjakan PR / belajar dsb., langsung disimpulkan bahwa sang anak pemalas, sang anak bodoh, sang anak bandel dsb. sehingga layak untuk dimarahi, dihukum bahkan ada yang dibentak, dicubit ataupun dipukul.

Akibatnya tanpa kita sadari, kita menyampaikan pesan “tersembunyi” pada si anak bahwa sekolah adalah aktifitas yang penuh penderitaan, sekolah membuat dirinya tidak disayang orang tua, sekolah membuat dirinya cemas, atau sekolah adalah sumber masalah. Hal tersebut dapat semakin diperparah jika pihak guru / sekolah hanya sekedar mengajar, bukan mendidik.

Tidak usah heran jika hal tersebut dikemudian hari dapat berkembang semakin buruk menjadi fobia belajar, bolos sekolah, fobia sekolah dan akhirnya mogok sekolah.

Sudahkah kita mencari tau apa yang menjadi penyebab ia malas belajar atau malas ke sekolah ? Apakah ia enggan belajar karena takut sendirian di kamar, apakah ia tidak mengerti pelajaran tertentu, apakah ia bingung untuk apa ia belajar, apakah ia pernah diejek teman, apakah ia pernah dimarahi guru, apakah ia pernah dihukum pihak sekolah karena terlambat, apakah ia pernah dipalak atau diancam temannya ?

Dengan kata lain, banyak hal yang mungkin menjadi penyebab mengapa si anak enggan belajar atau kesekolah sebelum kita sampai pada kesimpulan yang “lebay” sehingga merasa si anak layak untuk di hukum.

Padahal masih banyak cara yang dapat dilakukan orang tua untuk menyampaikan “pesan” bahwa belajar adalah sebuah aktifitas yang menyenangkan, sekaligus merupakan aktifitas yang penting bagi masa depan seperti menambah jumlah teman yang dapat ia pengaruhi, meningkatkan keberanian melakukan hal yang baru, menambah koleksi pengalaman yang menyenangkan, membuka peluang ke luar negeri, menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat ia bagikan ke orang lain, kelak memudahkan dirinya bekerja, memungkinkan keinginan pribadinya terwujud dsb.

Jika si anak bukanlah tipe yang dapat di iming imingi, paling tidak kita bisa mengajarkan dirinya tentang keberanian menerima atau mengelola resiko jauh jauh hari sebelum si anak memutuskan untuk tidak belajar, tidak masuk sekolah, ingin begadang/bangun kesiangan dsb.

Misal, katakan kepada si anak bahwa kalau nanti nilai pelajarannya jelek, kamu tidak usah sedih ataupun malu pada teman lainnya, karena hal tersebut merupakan “resiko” karena tidak belajar dan jika ingin nilainya bagus kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang. Kalau terlambat, kamu tidak usah takut/malu jika di hukum sekolah, karena hal tersebut merupakan “resiko” melanggar peraturan sekolah dan jika kamu tidak ingin dihukum, kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang. Kalau kamu tidak naik kelas, kamu tidak usah malu jika pada tahun berikutnya harus sebangku dengan adik kelas, karena hal tersebut merupakan “resiko” nilai pelajaran kamu yang buruk dan jika tidak ingin tinggal kelas, kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang.

Dengan demikian tanpa disadari, tumbuh dorongan bahwa belajar ataupun sekolah adalah demi kepentingan dirinya, bukan kepentingan orang tua.

Ingin bebas fobia belajar ? KLIK > https://servo.clinic/alamat/