
Tentunya kita semua tau bahwa saat ini, kesadaran para orang tua menyekolahkan anak, terutama di perkotaan sudah sangat tinggi.
Namun kesadaran akan pentingnya sekolah saja tidak cukup. Selain harus menyediakan sarana dan biaya pendidikan yang diperlukan, orang tua dituntut pula memiliki kemampuan menyampaikan “pesan” bahwa belajar bukanlah merupakan kepentingan orang-tua ataupun guru, melainkan kepentingan ybs. sendiri.
Masih ada orang-tua yang terjebak pada pemikiran bahwa sekolah adalah “tujuan”, sehingga saat menemukan sang anak tidak kooperatif dalam kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, misal anak yang selalu bangun kesiangan, anak yang malas mengerjakan PR / belajar dsb., langsung disimpulkan bahwa sang anak pemalas, sang anak bodoh, sang anak bandel dsb. sehingga layak untuk dimarahi, dihukum bahkan ada yang dibentak, dicubit ataupun dipukul.
Akibatnya tanpa kita sadari, kita menyampaikan pesan “tersembunyi” pada si anak bahwa sekolah adalah aktifitas yang penuh penderitaan, sekolah membuat dirinya tidak disayang orang tua, sekolah membuat dirinya cemas, atau sekolah adalah sumber masalah. Hal tersebut dapat semakin diperparah jika pihak guru / sekolah hanya sekedar mengajar, bukan mendidik.
Tidak usah heran jika hal tersebut dikemudian hari dapat berkembang semakin buruk menjadi fobia belajar, bolos sekolah, fobia sekolah dan akhirnya mogok sekolah.
Sudahkah kita mencari tau apa yang menjadi penyebab ia malas belajar atau malas ke sekolah ? Apakah ia enggan belajar karena takut sendirian di kamar, apakah ia tidak mengerti pelajaran tertentu, apakah ia bingung untuk apa ia belajar, apakah ia pernah diejek teman, apakah ia pernah dimarahi guru, apakah ia pernah dihukum pihak sekolah karena terlambat, apakah ia pernah dipalak atau diancam temannya ?
Dengan kata lain, banyak hal yang mungkin menjadi penyebab mengapa si anak enggan belajar atau kesekolah sebelum kita sampai pada kesimpulan yang “lebay” sehingga merasa si anak layak untuk di hukum.
Padahal masih banyak cara yang dapat dilakukan orang tua untuk menyampaikan “pesan” bahwa belajar adalah sebuah aktifitas yang menyenangkan, sekaligus merupakan aktifitas yang penting bagi masa depan seperti menambah jumlah teman yang dapat ia pengaruhi, meningkatkan keberanian melakukan hal yang baru, menambah koleksi pengalaman yang menyenangkan, membuka peluang ke luar negeri, menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat ia bagikan ke orang lain, kelak memudahkan dirinya bekerja, memungkinkan keinginan pribadinya terwujud dsb.
Jika si anak bukanlah tipe yang dapat di iming imingi, paling tidak kita bisa mengajarkan dirinya tentang keberanian menerima atau mengelola resiko jauh jauh hari sebelum si anak memutuskan untuk tidak belajar, tidak masuk sekolah, ingin begadang/bangun kesiangan dsb.
Misal, katakan kepada si anak bahwa kalau nanti nilai pelajarannya jelek, kamu tidak usah sedih ataupun malu pada teman lainnya, karena hal tersebut merupakan “resiko” karena tidak belajar dan jika ingin nilainya bagus kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang. Kalau terlambat, kamu tidak usah takut/malu jika di hukum sekolah, karena hal tersebut merupakan “resiko” melanggar peraturan sekolah dan jika kamu tidak ingin dihukum, kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang. Kalau kamu tidak naik kelas, kamu tidak usah malu jika pada tahun berikutnya harus sebangku dengan adik kelas, karena hal tersebut merupakan “resiko” nilai pelajaran kamu yang buruk dan jika tidak ingin tinggal kelas, kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan sejak sekarang.
Dengan demikian tanpa disadari, tumbuh dorongan bahwa belajar ataupun sekolah adalah demi kepentingan dirinya, bukan kepentingan orang tua.
Ingin bebas fobia belajar ? KLIK > https://servo.clinic/alamat/