Problem atau dalam bahasa positifnya “tantangan” adalah suatu keniscayaan.
Siapapun dia apakah rakyat jelata ataupun presiden sekalipun, suka ataupun terpaksa, pasti pernah terlibat dengan yang namanya problem.
Oleh Allah Swt. problem memang “diciptakan” untuk menguji kualitas kemanusiaan, apakah seseorang akan terus tumbuh dan menjadi mulia (khalifah) atau sebaliknya malah semakin uzur dan akhirnya menyerah .
Pengelolaan problem biasanya berbentuk siklus dan mengikuti “pola” tertentu. Apakah seseorang akan menjadi semakin tumbuh (eros) ataupun semakin uzur (thanatos) biasanya sangat ditentukan oleh “pola respon” seseorang.
Pada pola “eros” biasanya mengikuti mekanisme / siklus “tumbuh”, mulai dari tantangan, dilanjutkan dengan cara / strategi penanganannya, kemudian diikuti tindakan dan jika hasil sesuai dengan yang diinginkan, secara otomatis masuk ke slot syukur dan kembali ke tujuan dengan menetapkan tujuan baru ataupun level target yang ditingkatkan. Jika hasil belum sesuai dengan yang diinginkan secara otomatis masuk ke slot sabar, ambil hikmah (evaluasi) kemudian “ubah” cara / strategi kemudian lakukan ulang dengan cara / strategi yang baru. Lakukan berulang ulang sampai mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Pada pola “thanatos”, biasanya mengikuti mekanisme / siklus “uzur”. Urutannya dimulai dari “cara” respon problem yang salah sehingga timbul trauma psikis dan mengalami kemandekan mental (fiksasi). Selanjutnya pilihannya cuma dua, jika ybs. terpaksa berinteraksi dengan sumber stress seperti beban kerja, beban kuliah, problem keluarga dsb. maka akan timbul kecemasan, ketakutan, fobia, panik, gugup dsb. Namun jika ybs. berhasil menghindar, biasanya akan terjebak dalam bentuk bentuk kompensasi seperti kecanduan, maniak, kebiasaan buruk, rasa malas, obsesif-kompulsif dsb. yang merupakan zona nyaman yang semu / palsu. Jika kedua hal tersebut berlangsung terus menerus, ybs. semakin lama akan semakin terpuruk dan berpotensi menimbulkan kesedihan mendalam (depresi) akibat rasa gagal mengatasi problem ataupun rasa bersalah akibat selalu menghindar dari masalah. Demikian pula dengan respon selalu lari dari masalah akan semakin mengalami peneguhan (fiksasi) dan ini yang biasa disebut dengan pola respon / kebiasaan respon yang buruk.
Pola respon tsb. dapat terbentuk akibat pola asuh, pendidikan, pengalaman pengalaman serta kejadian ekstrim sebelumnya. Itu sebabnya trauma primer / trauma masa kecil seperti orang tua bercerai, kehilangan orang yang dicintai, kecelakaan, kekerasan dalam rumah tangga, pernah dikeroyok, pelecehan seksual dsb. memiliki kontribusi dalam proses pembentukan “pola respon”.
Tugas Andalah dengan atau tanpa bantuan terapis mengubah “pola respon” tersebut. Selama pola respon tidak diubah, misal masih terus mengikuti pola uzur (thanatos) maka semakin lama kita akan merasa semakin terpuruk.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/
Saya membaca artikel ini karena mengikuti link dari artikel “Menghilangkan Rasa Malas”.
Intensifnya 2 bulan terakhir ini saya merasa malas sekali bekerja. Sampai di kantor bukannya mulai mengerjakan tumpukan surat malah sibuk dengan email, chatting, dll.
Saya memang merasakan ada gap antara kapabilitas dengan tugas baru saya. Saya merasa kurang mampu, malah merasa tak berdaya. Sementara itu atasan minta saya memanfaatkan kesempatan ini sebagai ajang pembelajaran. Jujur saya juga malas belajar hal baru. Saya selalu ngantuk di kantor.
Fyi, 2 bulan yl saya sempat mengajukan untuk resign, tapi perusahaan menahan dan malah memberi saya kenaikan gaji yang cukup signifikan. Di sisi lain, saya juga ingin sekali tinggal di rumah mengasuh anak saya yang baru saja berumur 1 tahun. Saya sudah 5 tahun berumah tangga, dan sebenarnya suami juga bertanggung jawab, tapi ibu sayalah yang menekan saya untuk tetap bekerja dan menjadi wanita mandiri.
Please help me…!!!
Young Mama yang ingin menentukan Plihannya Sendiri.
Dapat saja kita berfikir penyebabnya adalah jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat ataupun kompetensi kita. Jika itu penyebabnya kita dapat membuat pilihan. Lihat artikel berikut : Tinggalkan atau Ubah Minat Anda.
Atau dapat pula disebabkan oleh keinginan Anda keluar dari “dominasi” orang tua Anda. Untuk itu perlu dicari akar masalah rasa malas Anda, kemudian emosi dan tujuan hidup Anda ditata ulang.
Apabila upaya berubah belum juga berhasil, kemungkinannya telah terjadi kemandekan emosional (fiksasi). Sebaiknya terapi !
Assalamualaykum wr wb
Pak Is, saya berterima kasih sekali atas artikel Bapak tentang Mekanisme Problem ini, yang membuat saya mencoba menganalisis sebab2 saya menjadi pemalas kelas berat ^ ^;
Satu diantara penyebab terbesar saya menjadi malas adalah: TIDAK FOKUS. Misalnya, meskipun telah direncanakan sebelumnya bahwa malam ini saya harus mengerjakan tugas, tetapi setelah tiba waktunya, saya sering membiarkan pikiran saya ini melayang entah kemana, baik ke kejadian baru2 ini, atau hal2 lain yang secara bawah sadar saya anggap lebih menarik daripada tugas yang harus saya kerjakan itu. Dengan demikian konsentrasi menjadi hancur lebur, dan gairah untuk mengerjakan tugas menjadi tidak ada, sehingga saya akhirnya menjadi malas.
Bagaimana menurut Pak Isywara? Semoga hasil pemikiran saya ini pun bermanfaat untuk orang lain. Amin.
Wassalamualaykum wr wb
Anda benar !
Tidak fokus meningkatkan rasa malas dan sebaliknya rasa malas membuat semakin tidak fokus.
Kebiasaan malas, menunda pekerjaan merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri terhadap ancaman dari luar. Lihat artikel : Menghilangkan rasa malas.
Penyebab tidak fokus bisa disebabkan karena “tugas” tsb. tidak kita inginkan atau tidak kita sukai sehingga pola respon (baca : sikap) kita secara otomatis menghindar dan bersembunyi dibalik rasa malas / menunda pekerjaan.
Akibatnya hasil tidak seperti yang kita inginkan dan menimbulkan rasa bersalah. Hal tersebut semakin meneguhkan rasa malas sebelumnya. Demikian seterusnya dan membentuk siklus malas yang semakin uzur.
Untuk memutus rantai malas tsb. yang bersangkutan harus membuat pilihan untuk berubah. Lihat artikel : Tinggalkan atau Ubah Minat Anda.
Terima kasih banyak Pak Is, memang kebiasaan buruk ini tidak boleh dibiarkan mengakar sampai tidak bisa dicabut lagi…mumpung saya masih muda (msh 21 thn ^ ^).
Saya tunggu artikel2 menarik lainnya dari Pak Is .
Wassalamualaykum wr wb
Assalammualaikum Wr Wb..
Pa Is yg baik, saya pria 42 th dan saya orang nya sudah lama malas sekali dalam melangkah hidup ini.
Saya mohon bantuan bapak dengan nasehat2 dr apa yg bapak telah pelajari dan dapati ilmu ini dan di bagi utk memperbaiki kehidupan saya.
Saya mau hidup baru dan mau merubah gaya hidup yg jelek ini dan saya tidak bisa melakukannya sendiri.. !
Terimah kasih.
Assegaf
Munculnya rasa malas mengindikasikan adanya kemandekan “pertumbuhan” emosi kita.
Dengan ataupun tanpa bantuan terapis hilangkan kebiasaan tsb. pada kesempatan pertama dengan cara meghilangkan “racun” yang menyebabkan emosi terkunci. Telusuri masa lalu Anda, apakah ada trauma trauma tersembunyi dan buang.
Mulai tetapkan tujuan Anda dan berlatihlah untuk mencapainya namun ingat latihan tsb. hanya sebagai “alat” untuk mengenal kemampuan diri sendiri sehingga apapun hasil yang dicapai mengandung hikmah dan merupakan pembelajaran. Sering seringlah menolong orang lain.
Lihat artikel berikut : Menghilangkan Rasa Malas.
Pak Isywara, Saya Dina usia 23 tahun. Saya seorang mahasiswa tingkat akhir.
Saat ini saya mengalami sebuah masa dimana saya merasa hidup saya sangat tidak produktif. Padahal saya sedang menyelesaikan skripsi akhir. Tapi saya merasa sangat malas sekali untuk melakukan apa pun juga. Yang saya lakukan hanya berdiam diri, menghabiskan waktu di kamar (kostan) saya (bisa hingga 3 minggu lamanya).
Tak jarang saya menunda-nunda pekerjaan atau rencana yang sering saya susun pada malam hari sebelum tidur. Sehingga rencana saya menjadi bertumpuk dan pada akhirnya membebankan saya sendiri.
Terkadang, perasaan malas saya sampai tidak mau menerima telpon dari siapa pun juga, kecuali ibu saya. Hal itu karena saya tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan dari teman2 saya (mengenai skripsi, atau hanya sekedar berbincang-bincang).
Sekarang saya sudah pada puncak dimana merasa bersalah dan membenci diri saya yang tidak bisa melawan rasa malas. Dan ketika ada niat untuk merubah semua itu, saya akan dengan mudahnya mengalah untuk kembali bermalas-malasan.
Pada malam menjelang tidur, saya sering sekali menyesali kemalasan yang saya lakukan. hingga saya tidak bisa tidur hingga pagi.
Untuk itu saya amat memohon bantuan dari bapak. Karena saya sudah tidak tau lagi harus berbuat apa untuk merubah perilaku saya ini.
Sebelumnya saya sangat Berterimakasih atas jawaban dan bantuan yang akan bapak berikan.
Periode penyusunan skripsi yang cukup panjang, mulai dari pemilihan judul, penyusunan proposal, penelitian, konsultasi, penulisan skripsi dan pendadaran yang biasanya memerlukan waktu 3 – 6 bulan (bisa lebih) menempatkan mahasiswa di bawah tekanan psikis yang panjang dan sangat melelahkan.
Belum lagi jika situasi sejak awal skripsi tidak kondusif seperti dosen pembimbing killer, judul skripsi yang direvisi berkali kali, serta dosen pembimbing yang susah dihubungi, apalagi jika ditambah masalah ekstra seperti ekonomi, masalah pacar dsb.
Hal yang harus di antisipasi sejak awal adalah :
1. Skripsi hanyalah “alat” kita mengenal kapasitas diri kita, bukan “tujuan” sehingga diharapkan, melalui skripsi pengetahuan dan kompetensi kita meningkat, kemampuan komunikasi meningkat, kemampuan bekerja di bawah tekanan meningkat dsb.
2. Jika dimungkinkan (optional), dosen pembimbing, “tema” skripsi adalah tema yang kita inginkan, sehingga motivasi kita adalah motivasi mengejar, bukan menghindar.
3. Jika dosen pembimbing dan tema skripsi tidak sesuai dengan yang kita inginkan, anggap saja kita sedang belajar mengelola emosi kita yaitu mengubah dari sesuatu yang kita miliki tetapi tidak kita inginkan (dosen killer, tema yang tidak sesuai) menjadi sesuatu yang belum kita miliki tetapi kita inginkan (menaklukkan dosen dan lulus ujian skripsi secepatnya).
Masih belum mempan juga, sebaiknya di terapi !
aslm WR.Wb pak isywara,
Saya nurbaiti, seorang mahasiswi tingkat akhir slh satu perguruan tinggi negeri di jakarta. saya mengalami “kemandekan” saat menyusun skripsi. sebenarnya masalah saya ada pada dosen pembimbing. satu dosen sangatlah sibuk sehingga sangat sulit ditemui dan satu dosen lagi memang terkenal killer luar biasa.
memang sayalah yg memilih mereka sbg dosen pembimbing saya karena pada awalnya saya merasa akan membuahkan suatu mahakarya yg berkualitas jika skripsi saya dibimbing oleh beliau2 tsb. akan tetapi, semenjak kejadian saat saya mengambil mata kuliah penyusunan proposal skripsi, selalu saja saya mengalami tekanan, setiap hari dimarahi dan dibentak-bentak. sampai saat ujian proposal skripsi saya diserang habis2an oleh dosen pembimbing saya.
semnejak itu, entah mengapa ada ketakutan tersendiri dlm diri saya jika bertemu dng beliau. bahkan saya merasa sensitif dan sedih jika ada teman yg menanyakan atau membahas soal skripsi. smester depan saya mendaftar mata kuliah skripsi lagi dan semester depan merupakan semester terakhir sekaligus harga mati saya dalam menyelesaikan kuliah karena apabila tidak selesai juga maka saya tdk diperbolehkan mengambil jalur skripsi lagi untuk lulus di PTN tempat saya kuliah.
mohon saran dan bantuan dari pak isywara, bagaimana mengatasi trauma saya ini sehingga saya bisa semangat lagi dan menghilangkan rasa takut saya pada dosen pembimbing saya itu…
terimakasih sebelumnya, atas saran dari Bapak. wlkmslm WR.Wb
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebaiknya hubungi masing masing dosen pembimbing secara pribadi dan kemukakan semua kesulitan yang Nurbaiti alami, termasuk resiko tidak diperbolehkan mengambil jalur skripsi dan minta solusinya, akan tetapi tidak perlu menyalahkan dosen atau mengeluh karena hanya akan melemahkan hati.
Jika tidak memiliki keberanian untuk menghadapi dosen tsb., kemungkinan Nurbaiti mengalami fobia karena trauma dengan sikap tidak menyenangkan sang dosen.
Untuk menghilangkan fobia tersebut sebaiknya terapi.
Wass. Wr. Wb.
Assalamu’alaikum Pak Is,
Saya menikah dengan teman baik selama kuliah saat saya sedang menyelesaikan studi pasca di luar negeri sedang dia di Indonesia sedang berjuang dengan S1nya karena studi sempat terhenti akibat terlibat hutang ratusan juta karena ujicoba bisnis yang gagal. Hubungan pertemanan kami sempat jeda lama saat itu, karena sayapun harus bekerja sambil kuliah karena usaha orangtua hancur dan saya harus mandiri sepenuhnya. Kami menikah dengan sederhana, berbagi biaya pernikahan 50:50, yang saya dapati kemudian bahwa dia tidak memakai uangnya, tapi sepenuhnya sumbangan orangtuanya. Setelah menikah otomatis saya menjadi breadwinner of the family, dengan gaya hidup naik sesuai standar dia yg anak seorang dokter spesialis. Keluarganya yang awalnya menyatakan uang saya dianggap sebagai pinjaman yang akan dilunasi kemudian ingkar karena ternyata hutangnya yang dulu separuhnya dibayar oleh papanya. Topik ini diulang-ulang terus menerus oleh mertua. Saya sebetulnya sejak awal terpikirpun tidak untuk hidup menadahkan tangan pada siapapun. Walaupun merasa ditipu tapi karena ingin fokus lebih pada membesarkan anak dan merintis karier, saya diamkan saja. Saya letih dan tidak mau terlibat dalam pertengkaran tiada ujung antara suami saya dengan kedua orang tuanya.
Saat ini suami saya tinggal di luar pulau, jauh terpisah dari saya. Awalnya kami meneruskan pendidikan di institusi yang sama, suami disupport papanya (dengan bidang pendidikan dipilihkan oleh mertua dan imbalan dibantu support belanja rumah tangga kami) sedang saya memakai uang tabungan saya untuk membiayai pendidikan saya. Karena sebuah pertengkaran dengan papanya, suami keluar dan memutuskan bekerja di luar pulau. Namun, biaya hidup dan transportasi sangat tinggi, sehingga harus memakai tabungan saya (lagi). Awalnya saya tidak permasalahkan, karena menimbang kondisi anak yang ikut suami (pendidikan saya tidak menyisakan banyak waktu sehari-harinya). Setengah tahun hidup berjalan baik-baik saja, sampai saya dapati suami ternyata kembali ke kebiasaan lama yaitu onani dan merokok. Suami pernah menjadi pecandu rokok dan onani, yang baru saya ketahui di awal pernikahan. Juga sangat destruktif, mudah emosional, kecanduan sex (meminta jatah saat saya sedang nifas, minta oral saat saya haid). Kami menghabiskan waktu sekitar 2,5 tahun to work things out, dan alhamdulillah berhasil. Kini, setelah hampir 2 tahun berlalu, saya mendapati dia kembali lagi pada kebiasaan ini. Kami bertemu rutin selama 2 minggu tiap 2 bulan. Saya yang membayar biayanya karena gajinya tidak mencukupi. Saya tidak keberatan dengan sekali-sekali suami ingin onani, bahkan saya memfasilitasi segala imajinasinya. Namun yang melukai hati adalah saat ia dengan gagah menolak phone sex (yang selalu berlangsung satu arah, karena saya menempatkan ini sebagai bentuk bakti untuk suami) dan berkata bahwa ia sudah berhenti onani maupun merokok. Saya sangat sensitif dengan aroma rokok, sehingga terakhir saat kami bertemu, saya bisa dengan jelas mencium aroma rokok dari baju, koper, nafas dan kulitnya. Kecurigaan saya terbukti ketika tak sengaja saya mendapati kresek sampah berisi kardus rokok dan puntungnya sewaktu beberes. Entah darimana saya tiba-tiba saja saat itu ada doongan membuka plastik kresek kecil tersebut. Saat itu saya biarkan dan kemudian suami datang. Saat saya akan membuang sampah dari dapur, kresek itu sudah tidak ada lagi. Saya diamkan dan perlahan-lahan saya tanya apakah suami merokok, dia selalu menjawab sambil bersumpah dengan nama Tuhan bahwa dia tidak menyentuh rokok sama sekali. Fakta bahwa ia berbohong dan menyalahgunakan nama Tuhan sungguh melukai hati saya.
Apa sebetulnya yang terjadi dengan suami saya, Pak Is? Mama mertua saya seorang yang sangat manipulatif dan lihai berbohong. Kedua mertua saya sering kali bertengkar secara terbuka. Hubungan dengan orangtua saya pun tidak harmonis karena perbedaan status sosial. Sering saya melihat suami bertingkah sama seperti mama nya, berbohong demi citra. Setahun terakhir saat kami hidup bersama, mandiri dari kedua orang tuanya, sifat jelek ini tidak pernah muncul. Apa yang sebetulnya terjadi?
Banyak sekali kesempatan bekerja yang lewat di depan mata begitu saja, karena saya sibuk mengurus permasalahan suami. Saya off sama sekali dari dunia kerja maupun pendidikanselama 2 tahun untuk mengurus anak, tanpa paksaan ataupun keberatan apapun karena kondisinya kami memang harus mandiri karena tidak bisa mengandalkan kedua belah keluarga besar untuk bantuan apapun. Saat ini saya sedang memproses tawaran bekerja selama 2 tahun di luar negeri, yang insya Allah akan membawa keluarga dalam situasi yang lebih kondusif baik secara finansial maupun posisi sosial. Suami mendapat kesempatan visiting program selama saya bekerja dalam projek tersebut, gaji dan benefitnya pun sangat cukup untuk kami bertiga. Bagaimanapun, saya harus mencari jalan keluar karena uang tabungan saya sudah sangat menipis. Kami pun masih ngontrak dengan kondisi apa adanya. Kartu keluarga masih nebeng di orang tua saya.
Apa sebetulnya yang terjadi ya Pak Is? Suami saya dulunya mahasiswa cemerlang, bahkan juga dalam ekstra akademik. Teman-temannya pun masih berhubungan baik hingga sekarang. Tentu saja saat ini teman-temannya sudah berada dalam posisi karier yang mapan. Kami berdua tergolong telat, karena sekolah.
Pada titik ini, saya tidak ingin lagi menjadi mentor suami mengurai hidupnya, Pak. Letih, dan saya pun harus mengurus hidup saya sendiri, untuk anak kami.
Mohon maaf atas komen yang sangat panjang ini. Saya sungguh tidak tahu harus bertanya dan bercerita kemana.
Terima kasih atas perhatian Pak Is.
Wassalam,
Dari cerita Anda yang sangat panjang, saya melihat Anda kehilangan fokus pada skala prioritas yang harus diambil sehingga tidak jarang enerji Anda dihabiskan hanya untuk mengatasi akibat dari masalah (simptom).
Bentuk bentuk kecanduan seperti kecanduan seks, rokok ataupun onani hanyalah sebuah mekanisme coping dan menjadi indikator bahwa suami juga sedang mengalami kecemasan kronis.
Yang harus dicari solusinya justru mencari penyebab kecemasan kronis suami dan penyebab mengapa Anda berfokus pada akibat (simptom) bukan sebab ?
Kombinasi kecemasan suami dan fokus Anda pada simptom yang membuat sinergi negatif pada penyelesaian masalah sehingga pola interaksi justru menjadi semakin uzur, negatif dan dekstruktif.
Solusi :
1. Anda dan suami harus bahu membahu sebagai satu tim, bukan saling menyalahkan satu sama lain
2. Berharap suami yang memulai perubahan hanyalah untung-untungan, namun menyediakan diri Anda untuk memulai perubahan ini jauh lebih pasti
3. Putuskan saat yang tepat untuk meminta bantuan profesional.
Terima kasih atas respon Pak Is yang begitu cepat.
Betul sekali penilaian Pak Is, bahwa saya kehilangan energi dan tidak fokus pada sebab. Rasanya seperti naik perahu bocor bertiga, suami sibuk menyalahkan orang tuanya dan saya lebih berpikir membuang airnya saja, supaya anak tidak tenggelam.
Kalau dimulai dari saya, darimana memulai perubahannya, Pak? Bantuan profesional apa yang tepat untuk kami agar hidup kami bisa berjalan normal dan tidak mengorbankan anak? Kami tidak tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Mohon bantuannya, Pak. Terima kasih.
Konsultasi atau terapi dapat dilakukan melalui HP / FB / YM.
Silahkan hubungi SERVO Clinic.