Tayangan Smackdown di layar televisi beberapa waktu yang lalu telah memakan korban jiwa dan beberapa mengalami patah tulang.
Bisa saja stasiun TV berkilah bahwa hal tersebut tidak semata mata akibat acara Smackdown, tetapi juga disebabkan oleh maraknya berita kriminal, kurangnya sarana bermain anak atau alasan lainnya.
Anehnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak punya cukup taring untuk menghentikan acara tersebut. Padahal sekalipun telah membayar hak penggunaan frekwensi TV, seharusnya tidak membebaskan lembaga siaran dari tanggung jawab sosial terhadap aspek pendidikan maupun ahlak. Hal tersebut dikarenakan frekwensi TV selain untuk kepentingan informasi, bisnis dan hiburan adalah ranah publik (public domain) yang seharusnya dipergunakan secara penuh tanggung jawab.
Dampak lain seperti histeria masal (kesurupan), meningkatnya angka bunuh diri ataupun perkosaan dibawah umur tidak lepas dari “cara” penayangan informasi yang tidak tepat. Contoh lain sugesti “cantik” itu kurus, berambut lurus serta berkulit putih berpotensi menimbulkan rasa “rendah diri” pada sebagian wanita. Demikian pula dengan persepsi “seksi” yang terbangun, jika puser dan paha atas kelihatan.
Efek audio sekaligus visualisasi gambar memberikan pengaruh yang kuat terhadap medan persepsi individu sehingga menjadi sangat rentan terhadap “sugesti negatif”.
Mari tinggalkan televisi yang mengajarkan budaya kekerasan, konsumerisme, mistik, pembodohan, hedonisme dan adegan porno.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/