Walau kantor merupakan suatu wadah tempat berkumpulnya sejumlah orang untuk mencapai tujuan bersama, hampir dipastikan, tidak ada satu kantorpun yang terbebas dari politik kantor.
Adanya perbedaan tanggung jawab, wewenang dan kepentingan menyebabkan masing masing orang atau kelompok harus menggunakan “cara” yang paling membuat dirinya nyaman, dalam mencapai tujuan perusahaan, fungsi ataupun pribadi.
Masing masing orang atau kelompok berpotensi menggunakan “cara” yang dirasa “baik” apakah berupa peningkatan kompetensi, kerja sama tim, berkompetisi secara sehat hingga siasat buruk seperti intrik, fitnah, manipulasi, adu domba, penipuan dsb. yang sangat merugikan lingkungan kerja.
Bias makna “politik” yang berkonotasi negatif, menjilat atasan, penuh kelicikan, jegal-jegalan, menusuk dari belakang membuat tidak semua orang mau mempelajari politik kantor sebagai sebuah tools yang “diperlukan” dan “positif”. Padahal politik kantor dapat dijadikan sebagai sebuah alat yang efektif dalam membangun sinergi dan kesepakatan tergantung kualitas input yang kita pilih.
Akibatnya perusahaan berpotensi kehilangan peluang tumbuh karena politik kantor disalah gunakan oleh “petualang-petualang” politik hanya untuk mengejar ambisi pribadinya dan beresiko kehilangan orang orang terbaiknya karena merasa “dimanfaatkan” atau hanya jadi sapi perahan.
Disinilah pembekalan diri karyawan mengenai “life skill education”, “kepemimpinan”, “kecerdasan sikap”, “kesadaran diri”, “komunikasi”, “strategi bersaing”, “motivasi berkarir”, “politik kantor” menjadi hal yang paling mendasar yang perlu diperkenalkan kepada karyawan baru ataupun manajemen trainee sehingga dikemudian hari karyawan lebih “suka” memilih hal hal yang positif sebagai pilihan mentalnya.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/
Terjadinya kelompok2 dalam kantor, akan menyebabkan sikon tidak sehat. Apalagi jika kelompok yg berkuasa tidak mampu membawa perusahaan menuju lebih baik. Lalu apa solusinya ?
Perlukah kudeta ? Atau yang paling gampang, pindah kerja….
Seharusnya ada sistem yg membuat kelompok2 tsb tidak terjadi. Dengan cara kenaikan karir melibatkan unsur 360 derajat penilaian.
Tks.
Terbentuknya kelompok kelompok di dalam kantor merupakan sebuah peristiwa alami dimana masing masing anggota kelompok akan mencari komunitas yang “satu frekwensi” dengan dirinya.
Subjek yang mempersatukan dapat berupa “satu ide”, “satu suku”, “satu almamater”, “senasib”, dsb. Dengan demikian ybs. merasa nyaman dan diterima dalam kelompoknya.
Namun jika diperhatikan ada 2 kelompok utama yaitu kelompok “tumbuh” dan kelompok “uzur”. Kelompok tumbuh selalu menyukai tantangan, positif, berfikir solusi sedang kelompok uzur kebanyakan merupakan kelompok pengeluh, pemalas, suka ngerumpi/isu, dsb.
Itu sebabnya melalui peningkatan sistem yang berkelanjutan, perusahaan memiliki kepentingan membangun “atmosfer” kerja yang positif dan kondusif sedang individu melalui “kelompok tumbuh” memiliki kepentingan membangun kompetensi diri yang semakin unggul.
Cara paling mudah memperbanyak kelompok tumbuh adalah dengan memfasilitasi karyawan dengan soft skill seperti pelatihan “kecerdasan sikap”, “kepemimpinan karyawan”, “keterampilan berkomunikasi”, “team work”, “quality sistem”, “kaizen” dsb.
Penegasan perlunya politik kantor yg disampaikan diatas, bisa lebih terarah dengan “kesepakatan’ pembaca bahwa politik kantor itu baik, atau bisa jadi baik..?
Klau tidak, saya malah berfikir, untuk menjadi sukses di karir, apa iya harus bermain politik ? Kalau tidak jadi korban… 🙂
Pilihannya bukan mana yang lebih penting, berpolitik kantor atau tidak !
Melainkan “tau” kapan perlu berpolitik kantor atau tidak.
Dengan demikian seseorang selalu menjadi subjek dalam setiap interaksi pekerjaan ataupun sosial, sehingga dapat terus “bertumbuh” dalam situasi “seliar” apapun.
Di …………. punya 2 manager yg menjalankan management amburadul, jabatan rangkap rangkap untuk menghambat karir karyawan lain.
Intinya memperkaya diri tujuan utama, menekan bawahan tapi menjilat atasan layaknya kucing garong.