Rasa malu adalah perasaan tidak diterima secara sosial.
Orang yang malu cenderung ragu ragu, defensif, inferior, menjadikan dirinya sendiri sebagai objek (berpusat pada diri sendiri) dan memposisikan orang lain dalam posisi dominan dan “penilai”.
Rasa malu mulai terbentuk pertama kali pada fase anal (usia 1-3 tahun). Pada fase inilah orang tua mulai menggunakan “rasa malu” untuk mendidik sang bayi mengontrol fungsi pembuangannya (toilet training) dan fungsi tubuh lainnya.
Keberhasilan bayi dalam mengendalikan dirinya akan memberikan rasa bangga (karena dipuji) namun jika sebaliknya akan menimbulkan rasa malu dan ragu. Pengalaman yang memalukan inilah yang dikemudian hari menjadi “bibit” rasa malu dalam kehidupan sosial berikutnya.
Itu sebabnya penggunaan rasa malu sebagai “hukuman” sosial yang berlebihan dan tidak pada tempatnya berpotensi mengganggu pertumbuhan “normal” emosi seseorang.
Rasa malu seharusnya diarahkan sebagai alat kontrol moral dan sosial misal malu buang sampah sembarangan, malu berbohong, malu buka bukaan, malu melanggar hukum, malu korupsi dsb.
Jadi bukan untuk bahan tertawaan selama proses pembelajaran seperti salah omong, salah nada, salah tulis dsb., apalagi yang berhubungan dengan keterbatasan fisik seperti hidung yang pesek, tubuh yang gemuk, orang tua yang miskin dsb.
Bagaimana jika rasa malu yang “tidak pada tempatnya” sudah terbentuk ?
Dengan ataupun tanpa bantuan terapis geserlah diri keposisi subjek. Mulailah berlatih mengambil inisiatif, menolong orang lain dan berani bertindak pada skala kecil.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/