Pengaruh kecerdasan emosional terhadap untung rugi perusahaan merupakan gagasan yang relatif baru bagi dunia usaha, gagasan yang barangkali sulit diterima oleh sejumlah manajer.
Sebuah studi terhadap 250 eksekutif perusahaan menemukan bahwa sebagian besar dari eksekutif eksekutif itu merasa bahwa pekerjaan mereka menuntut “kemampuan otak bukan perasaan”. Banyak yang merasa khawatir jangan jangan menunjukkan empati atau belas kasihan kepada anak buah akan membuat mereka terlibat konflik dengan sasaran perusahaan.
Seorang eksekutif merasa bahwa gagasan untuk lebih peka akan perasaan anak buahnya adalah hal yang absurd-tindakan tersebut, katanya ,”akan menyulitkan urusan dengan anak buah.” Eksekutif eksekutif lain mengajukan bantahan dengan mengatakan bahwa bila mereka tidak menjaga jarak secara emosional, mereka tidak mungkin dapat membuat keputusan keputusan yang “kejam” yang diisyaratkan dalam bisnis-meskipun kemungkinannya adalah bahwa mereka akan menghasilkan keputusan keputusan yang lebih manusiawi (Michael Maccoby).
Studi tersebut dilakukan dalam tahun 1970-an, ketika dunia bisnis masih sangat berbeda. Menurut saya, sikap sikap semacam itu sekarang sudah ketinggalan jaman, hanya kemewahan peninggalan masa lalu; realitas persaingan yang baru menempatkan kecerdasan emosional sebagai hal yang amat dihargai di tempat kerja dan dipasaran.
Sebagaimana diutarakan kepada saya oleh Shoshona Zuboff, seorang ahli psikologi pada Harvard business School, “dalam abad ini, perusahaan perusahaan telah mengalami perubahan radikal dan bersama dengan perubahan tersebut muncullah suatu tranformasi tentang emosional yang berkaitan dengannya.
Dulu, dunia usaha ditandai oleh suatu periode panjang adanya dominasi manajerial hierarki perusahaan, ketika bos yang bersikap manipulatif dan sok kuasa lebih dihargai. Tetapi, hierarki yang kaku itu mulai runtuh dalam tahun 1980-an di bawah tekanan ganda, yaitu globalisasi dan teknologi informasi. Pimpinan yang sok kuasa melambangkan masa lalu; ahli dalam keterampilan antar pribadi adalah masa depan perusahaan. Sebagaimana disebutkan oleh seorang konsultan manajemen, “Stres membuat orang menjadi bodoh !”.
Pada sisi positif, bayangkanlah manfaat bagi pekerjaan bila orang menguasai keterampilan emosional dasar-setala dengan perasaan orang orang yang selalu berurusan dengan kita, pandai mengatasi orang orang yang selalu berurusan dengan kita, pandai mengatasi perselisihan sehingga tidak semakin memanas, mampu memasuki keadaan hanyut sewaktu bekerja.
Kepemimpinan bukanlah berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama.
Sumber : Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/