Pengaruh pendidikan terhadap keterampilan emosional dimulai dibuaian.
Dr. T. Berry Brazelton, spesialis anak terkemuka dari Harvard, mempunyai tes diagnostik sederhana terhadap sikap dasar seorang bayi tentang kehidupan. Brazelton menawarkan dua balok kepada bayi berumur delapan bulan dan kemudian memperlihatkan kepada si bayi bagaimana ia ingin agar bayi tersebut menaruh kedua balok itu bersama sama.
Seorang bayi yang penuh harapan tentang hidup, yang mempunyai keyakinan pada kemampuannya sendiri kata Brazelton, akan mengambil sebuah balok, memasukkannya ke mulut, menggosokkannya ke rambutnya, menjatuhkannya ke sisi meja, sambil mengamati apakah Anda akan mengambilkan balok itu untuknya.
Apabila Anda melakukannya, anak itu pada akhirnya akan menyelesaikan tugas yang diminta-menyusun dua balok itu. Kemudian ia akan memandang ke arah Anda dengan pandangan mata bersinar sinar penuh harap seolah olah mengatakan , “Aku pintar, kan ?” (T. Berry Brazelton). Bayi bayi seperti ini mendapat dosis persetujuan dan dorongan dalam jumlah besar dalam kehidupan mereka: mereka punya harapan akan berhasil dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Sebaliknya, bayi bayi yang berasal dari keluarga yang berantakan, kacau balau atau disia siakan akan menjalani tugas kecil tadi dengan cara yang menyiratkan bahwa mereka tidak berharap akan berhasil. Masalahnya bukanlah bahwa bayi bayi itu gagal menyusun balok balok; mereka memahami instruksi tersebut dan mempunyai koordinasi untuk melaksanakannya. Tetapi, bila mereka melakukannya, begitu laporan Brazelton, wajah mereka adalah “wajah kalah”, wajah yang menatap dengan pandangan yang mengatakan , “Aku bodoh. Nah, gagal, kan ?”
Anak anak semacam itu cenderung menempuh kehidupan dengan pandangan yang mudah kalah, tidak mengharapkan dorongan atau minat dari para guru, menemukan bahwa sekolah itu tidak membahagiakan dan barangkali pada akhirnya akan putus sekolah.
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/