Masih ingat dengan peribahasa “Mulutmu harimaumu?” yang berarti ‘harga diri atau keselamatan seseorang sangat ditentukan dari cara yang bersangkutan berbicara atau bertutur kata’?
atau peribahasa “Karena mulut, bisa binasa?” yang artinya ‘seseorang berpotensi mendapat celaka karena lisan atau ucapannya’?.
Peribahasa sebagai budaya bertutur dimasa lalu, meski saat ini sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari hari, namun sebagai sebuah kata kata bijak atau kata kata mutiara tidak lekang oleh waktu dan selalu relevan pada setiap zaman.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan peribahasa/pe·ri·ba·ha·sa/ n sebagai 1 kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan); 2 ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.
Begitu pula dengan apa yang baru saja dialami oleh saudara kita AD dan EM, dimana akibat kurang hati hati dalam menjaga lisannya (belum lagi ada resiko dipolitisir?), akhirnya dengan sukarela atau terpaksa harus meminta ma’af secara terbuka kepada suku yang merasa tersinggung akibat ucapannya.
Sebagai seorang politikus ataupun publik figur seharusnya “Pandai berminyak air” yang artinya ‘pandai pandailah memainkan kata untuk mencapai suatu maksud, tanpa harus melukai perasaan pihak lain atau memiliki “Mulut manis mematahkan tulang” yang artinya ‘perkataan lemah lembut dapat menyebabkan orang lain tunduk atau menurut, bukan malah tersinggung.
Jadi sangat tepat jika ada peribahasa yang mengatakan “Bahasa menunjukkan bangsa” yang artinya budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan).
Ingin terampil dalam bertutur kata? KLIK > https://servo.clinic/alamat/