Sebuah studi di Stanford University Medical School terhadap 1012 pria dan wanita yang menderita serangan jantung pertama dan dipantau selama delapan tahun memperlihatkan bahwa kaum pria yang paling agresif dan paling suka bermusuhan mempunyai resiko tertinggi terkena serang jantung yang kedua (Carl Thoreson).
Hasil hasil yang serupa juga ditemukan pada studi di Yale School of Medicine terhadap 929 pria yang pernah mengalami serangan jantung dan dilacak hingga sepuluh tahun (Lynda H. Powell). Kaum pria yang termasuk golongan mudah terpancing amarahnya terbukti resikonya meninggal karena serangan jantung lebih dari tiga kali lipat daripada kaum pria yang perangainya lebih tenang. Apabila mereka juga memiliki kadar kolesterol yang tinggi, resiko tambahannya akibat amarah itu menjadi lima kali lebih tinggi.
Sebuah studi di Harvard Medical School meminta lebih dari 1500 pria dan wanita yang terkena serangan jantung untuk melukiskan keadaan emosi mereka pada jam jam sebelum serangan tersebut. Menjadi marah melipatgandakan resiko serangan jantung pada orang orang yang mengidap penyakit jantung; resiko yang meningkat itu berlangsung kurang lebih selama dua jam setelah amarah tersebut bangkit (Murray A. Mittleman).
Temuan temuan ini tidak berarti bahwa orang harus berusaha menekan amarah apabila amarah itu pada tempatnya. bahkan ada petunjuk bahwa berusaha menekan kuat kuat perasaan marah ketika sedang “panas panasnya” malah mengakibatkan menghebatnya kegiatan tubuh dan dapat meningkatkan tekanan darah (Robert Levenson).
Dipihak lain, hasil dari melampiaskan amarah setiap kali merasa marah hanyalah menambah nambah kemarahan, menjadikannya sebagai respons terhadap setiap situasi menjengkelkan. William menyelesaikan paradoks ini dengan menyimpulkan bahwa apakah amarah itu diungkapkan atau tidak adalah hal yang kalah penting dibandingkan apakah amarah itu kronis atau tidak (Redford Williams).
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/