Misalnya, di antara 100 pasien yang telah menerima transplantasi sumsum tulang, 12 dari 13 orang yang mengalami depresi, meninggal dalam waktu satu tahun pertama sesudah transplantasi dilakukan, sementara 34 orang dari 87 sisanya masih hidup hingga dua tahun kemudian (James Strain).
Pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani dialisis, penderita yang didiagnosis mengalami depresi berat amat besar kemungkinannya meninggal dalam waktu dua tahun berikutnya; depresi adalah alat prediksi kematian yang lebih akurat daripada tanda medis lainnya (Howard Button et al.).
Dalam hal ini, pola yang menghubungkan emosi dengan kondisi medis tidaklah bersifat biologis tetapi lebih pada bagaimana menyikapi penyakit: pasien yang didera depresi kurang taat menjalani aturan pengobatannya-misalnya berbohong tentang dietnya, hal ini menyebabkan mereka menghadapi resiko kematian yang lebih tinggi.
Penyakit jantungpun tampaknya semakin parah akibat depresi. Dalam sebuah studi terhadap 2832 pria dan wanita setengah baya yang dilacak selama dua belas tahun, orang orang yang merasa tidak berdaya dan putus asa mempunyai resiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung (Robert Anda et al.).
Kurang lebih 3 persen penderita depresi paling hebat, laju kematiannya akibat penyakit jantung adalah empat kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju kematian orang orang yang tidak dilanda depresi.
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/