Adanya Ancaman ?

Berlangsungnya cacat persepsi ini dapat dilihat pada sebuah percobaan yang memasangkan anak anak pembuat onar ini dengan anak yang lebih tenang untuk menonton video.

Dalam salah satu video, seorang anak laki laki menjatuhkan buku bukunya ketika anak lain menabraknya dan anak anak yang berdiri di dekatnya tertawa; anak yang menjatuhkan buku bukunya itu menjadi marah dan berusaha memukul salah satu anak yang tertawa.

Ketika anak anak yang menonton video ini membicarakan hal itu sesudahnya, sipembuat onar selalu menganggap anak yang memukul itu benar. Bahkan yang lebih mencolok, ketika diskusi mengenai video itu sedang berlangsung mereka diminta menilai seberapa agresif anak anak itu, mereka melihat anak yang memukul anak lain itu lebih berani dan amarah anak yang memukul tadi dapat dibenarkan (John Lochman).

Lompatan ke arah penilaian yang bersifat menghakimi ini membuktikan adanya cacat persepsi yang mendalam pada orang orang yang sangat agresif: mereka bertindak berdasarkan pengandaian adanya permusuhan atau ancaman, tidak memperhatikan apa yang sesungguhnya terjadi.

Setelah menduga ada ancaman, mereka tanpa pikir pikir langsung bertindak. Misalnya, bila seorang anak yang agresif bermain catur dengan anak lain yang menggerakkan satu bidak bukan pada gilirannya, anak agresif itu akan menafsirkan gerakan ini sebagai “kecurangan” tanpa mencoba meneliti apakah ini kekeliruan yang tidak disengaja.

Anggapannya adalah itu tindak kejahatan bukan ketidak sengajaan; reaksinya secara otomatis adalah permusuhan. Bersama dengan persepsi otomatis tindak permusuhan terkait pula serangan yang juga otomatis; alih alih, misalnya, menunjukkan kekeliruan orang lain, ia akan langsung menuduh, berteriak dan memukul.

Dan semakin sering anak anak semacam ini berlaku demikian, keagresifan mereka semakin bersifat otomatis dan semakin menyusut simpanan tindakan alternatifnya-yaitu sikap sopan santun atau bersenda gurau.

Anak anak semacam itu secara emosional rawan, dalam arti mereka memiliki ambang marah yang rendah, menjadi lebih sering kesal hati karena punya lebih banyak perkara; setelah marah, pikiran mereka menjadi keruh sehingga menganggap perbuatan baik sebagai tindak permusuhan dan kemudian menggunakan kebiasaan mereka yang telah sangat mengakar yaitu menyerang (Kenneth A. Dodge).

Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s