Pada kelas empat atau kelas lima, anak anak – yang sekarang sudah dianggap pengganggu atau sekedar anak anak “sulit” – ditolak oleh teman sebayanya dan tidak mampu membina persahabatan dengan mudah, bila memang berusaha membinanya dan mengalami kegagalan akademis.
Karena merasa tidak memiliki sahabat, mereka cenderung bergabung dengan kelompok lain yang terkucil dari pergaulan. Antara kelas empat dan kelas sembilan, mereka melibatkan diri pada kelompok buangan dan menempuh kehidupan sebagai pelanggar hukum: mereka menunjukkan angka pembolosan lima kali lebih besar, minum minum dan menggunakan obat terlarang, dengan kenaikan tertinggi terjadi antara kelas tujuh dan kelas delapan.
Pada tahun tahun pertengahan masa sekolah, kelompok mereka bertambah dengan jenis lain “pemula belakangan”, yang tertarik pada gaya memberontak mereka; pemula belakangan ini seringkali anak muda yang sama sekali tidak mendapat pengawasan di rumah dan sejak di sekolah dasar sudah mulai berkeliaran di jalan menuruti kehendak sendiri.
Pada saat di sekolah menengah atas, kelompok liar ini biasanya keluar dari sekolah dan hanyut dalam tindak pelanggaran, melakukan kejahatan kejahatan kecil seperti mengutil di toko, mencuri dan menjual obat terlarang.
Tentu saja tidak cuma ada satu jalan menuju tindak kekerasan dan kejahatan; banyak faktor lain yang bisa membuat seorang anak menghadapi resiko itu; dilahirkan di permukiman yang tinggi tingkat kriminalitasnya sehingga lebih gampang tergoda berbuat jahat dan kejam, berasal dari keluarga yang dihadang tekanan berat atau hidup dalam kemiskinan.
Tetapi tidak satupun di antara faktor ini yang menyebabkan suatu hidup yang penuh tindak kejahatan dengan kekerasan menjadi tak terelakkan. Kalau segala sesuatunya sama, kekuatan psikologis yang bekerja pada anak anak yang agresif sangat memperbesar kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi penjahat kejam.
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/