Selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir, orang telah memaklumkan “perang” secara bergiliran: perang terhadap kehamilan remaja, perang terhadap putus sekolah, perang terhadap narkotika dan yang paling akhir perang melawan tindak kekerasan.
Namun kesulitannya adalah perang itu datangnya terlambat, setelah mewabah dan berakar kuat dalam kehidupan anak muda. Perang itu cuma campur tangan darurat, sama saja dengan menyelesaikan masalah dengan mengirim ambulans untuk menyelamatkan, bukannya lebih dulu memberi vaksinasi yang dapat mengusir penyakit.
Daripada memaklumkan lebih banyak “perang” semacam itu, yang sekarang kita butuhkan adalah mengikuti logika pencegahan, dengan memberikan anak kita keterampilan menghadapi kehidupan sehingga meningkatkan peluang mereka menjauhi setiap dan semua takdir kehidupan ini (Daniel Goleman).
Fokus saya pada kekurangan emosional dan sosial bukanlah berarti menyangkal peran faktor resiko lain, misalnya tumbuh besar di keluarga berantakan, suka menganiaya dan kacau balau, atau di wilayah permukiman yang miskin, yang penuh dengan tindak kejahatan dan penyalah gunaan obat terlarang.
Kemiskinan itu sendiri menimbulkan pukulan emosional pada anak: anak yang miskin pada umur 5 tahun sudah merasa lebih ketakutan, cemas dan murung daripada teman sebayanya yang berkecukupan dan sudah punya lebih banyak masalah perilaku seperti sering mengamuk dan menghancurkan barang, kecenderungan yang akan berlanjut sepanjang masa remajanya.
Tekanan kemiskinan juga menggerogoti kehidupan keluarga: dalam kemiskinan cenderung timbul kurangnya ungkapan kehangatan orang tua, lebih banyak ibu yang mengalami depresi (yang sering kali hidup tanpa suami dan menganggur) dan mengandalkan hukuman kejam seperti berteriak, memukul dan melakukan ancaman fisik (Greg Duncan dan Patricia Garret).
Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.
Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/