Dengan menerapkan pelajaran dalam tindakan sambil dibantu sedikit latihan, “sikap asertif” dan “mendengar aktif”, bagi anak anak ini bukanlah sekedar ungkapan kosong dalam sebuah tes-sikap tersebut sudah menjadi cara bereaksi yang digunakan anak pada saat mereka sangat membutuhkannya.

Penguasaan wilayah emosi merupakan hal yang sangat sulit karena keterampilan itu harus diperoleh saat orang biasanya paling tidak mampu menelan informasi baru dan mempelajari kebiasaan tanggapan baru-bila mereka sedang marah.

Pembinaan dalam saat saat ini ada manfaatnya. “siapapun orang dewasa atau murid kelas lima membutuhkan pertolongan tertentu untuk menjadi seorang pengamat diri sendiri ketika sedang marah,” kata Varga.

“Jantung berdebar debar, tangan berpeluh, gelisah dan berusaha mendengarkan dengan jelas sementara menjaga kendali kita sendiri untuk mengatasi hal ini tanpa berteriak, mengumpat atau menutup diri sebagai sikap defensif.”

Bagi mereka yang akrab dengan hiruk pikuknya anak kelas lima, yang barangkali paling menakjubkan adalah baik Tucker maupun Rahman telah mencoba menilai pandangan pandangan mereka tanpa mengumpat, menyebut nama atau berteriak teriak.

Dan juga tidak membiarkan perasaan mereka meningkat menjadi umpatan “Kamu brengsek !” atau adu jotos, ataupun memutus komunikasi dengan keluar dari ruangan itu.

Apa yang disangka dapat menjadi benih perkelahian habis habisan malahan dapat mempertajam penguasaan anak terhadap nuansa penyelesaian konflik.

Betapa berbedanya bahwa segala sesuatunya itu dapat berlangsung dalam situasi yang lain. Anak anak setiap hari berkelahi-dan yang lebih parah-untuk hal hal yang kurang berarti.

Sumber : Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman, 1996.

Ingin cepat berubah? KLIK > https://servo.clinic/alamat/